KOALISI UNTUK SIAPA ???

Oleh : Taufik Hidayat (Direktur Utama Gandautama Riset Indonesia )

Menjelang perhelatan Pemilu 2024, setiap Partai Politik mulai bergerak untuk memastikan mitra koalisi dalam mengusung pasangan capres dan cawapres. Masing masing punya kalkulasi dalam menentukan Parpol mana yang paling mungkin diajak berkoalisi. Tetapi pertanyaan yang paling mendasar adalah koalisi ini untuk kepentingan siapa? Rakyatkah? Kelompok sendiri kah? atau oligarki ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita akan melihat dalam perspektif teoritis komunikasi politik. Koalisi bukan saja menyatukan kekuatan para partai politik untuk menghadapi lawan-lawan politik tetapi juga merupakan penyatuan persepsi diantara persepsi yang berbeda – beda.

Dalam kajian komunikasi, telah dimaklumi oleh para pakar komunikasi, bahwa inti dari komunikasi adalah Persepsi. Karena perbedaan persepsi berdampak pada tidak timbulnya apa yang disebut dengan “Lambang Signifikan” yaitu lambang – lambang yang bermakna sama antara encoder dengan decoder. Artinya sebuah komunikasi (dalam konteks ini bisa disebut koalisi) tidak akan mencapai kesepahaman apabila lambang signifikan tidak sama diantara keduabelah pihak. Persamaan persepsi akan dapat dicapai apabila unsur – unsur pembentuk persepsi bisa disamakan yaitu pertama, kepercayaan, kedua adalah nilai dan yang ketiga adalah harapan.


Ketika berbicara masalah kepercayaan berarti kita juga berbicara masalah ideologi. Seiring dengan kuatnya aliran pragmatisme dalam perpolitikan di Indonesia, warna ideologis partai politik di Indonesia semakin abu-abu, Partai –partai politik yang tadinya kental dengan ideologi nasionalismenya sudah mulai merasa harus sedikit melakukan “metamorphosis” agar nuansa kekentalan ideologi nasionalisme dapat diturunkan levelnya sehingga dapat mengakomodir ideologi – ideologi lain untuk mencitrakan partai tersebut terbuka untuk semua lintas sektoral (ras,agama,ideology dll.), contoh terbaik dalam kasus ini adalah PDIP dengan underbow Baitul Musliminnya.

Hal yang sebaliknya juga terjadi, pencitraan sebagai partai yang terbuka sekaligus nasionalis telah mewabah pada partai – partai yang dikenal kekentalannya sebagai partai berideologi agama. Contoh terbaik untuk kasus ini adalah PKS dengan perubahan logonya. Akibat wabah “Metamorphosis” ini, strategi partai apapun untuk berkoalisi dalam mengusung capres/cawapres tidak akan terjadi hambatan yang berarti apabila dilihat dari kacamata kepercayaan/ideologi.

Sedangkan aspek kedua adalah nilai. Nilai merupakan aspek evaluatif dari kepercayaan, artinya setiap ideologi atau kepercayaan mempunyai standar – standar dalam menentukan sebuah indikator keberhasilan dari kepercayaan tersebut. Seiring dengan semakin memudarnya aspek ideologisasi partai politik maka unsur nilai ini pun mengikuti perubahan arah kepercayaan/ideologi tersebut. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang menjadi nilai dari partai – partai politik yang semakin tidak jelas warna ideologinya tersebut ? , seperti yang penulis telah singgung diatas, metamorphosis yang dilakukan oleh sebagian besar partai politik yang dikenal dengan kekentalan ideologi tertentu berangkat dari pragmatisme politik untuk mendulang suara sebanyak- banyaknya dari masyarakat. Nilai pragmatisme merupakan nilai yang hanya melihat konsekuensi praktis dari sebuah peristiwa atau “real effects” yang didapat. Oleh sebab itu, kalkulasi untuk berkoalisi pada akhirnya banyak ditentukan oleh nilai – nilai pragmatis ini.

Terakhir adalah harapan, harapan merupakan mimpi atau visi yang dibangun berdasarkan kepercayaan dan nilai. Harapan seyogyanya harus sinkron dengan realitas, jika tidak akan menimbulkan masalah. Realitas bahwa perolehan suara partai – partai besar seperti Golkar dan PDIP mengalami penurunan harus menjadi pertimbangan tersendiri dalam arah koalisi. Tetapi, realitas yang paling valid dalam membentuk koalisi untuk nominasi capres dan cawapres adalah realitas yang akurat, karena kerapkali elite partai – partai politik lebih yakin hanya pada realitas yang “diklaim” atau “dimodifikasi” oleh para kader – kadernya yang kadangkala melaporkan realitas “semu” atau “asal bapak/ibu senang”. Dalam kaitannya dengan ini, hasil – hasil survei yang obyektif dari lembaga-lembaga survei yang kredibel telah banyak menggambarkan realitas yang sesungguhnya.  

Untuk pilpres nanti, bagi elite partai politik yang terbiasa berpikir scientific  maka hasil – hasil survei yang kredibel tersebut akan menjadi skala prioritas utama dalam menakar mimpinya, atau sebaliknya, bagi elite partai politik yang lebih suka menerima “klaim-klaim” sepihak dari para kadernya, maka akan terjebak pada masalah dikemudian hari.

Nampaknya, masih banyak elite partai politik melihat hasil – hasil survey yang kredibel hanya dengan sebelah mata, tradisi berpikir scientific masih jarang diadopsi oleh para elite – elite partai politik, sehingga lobby – lobby koalisi nantinya akan banyak “diracuni” oleh realitas – realitas yang hanya “dikarang-karang” oleh para kader – kader didalam tubuh partai politik tersebut.

Dari ketiga unsur pembentuk persepsi tersebut, maka bisa disimpulkan, arah koalisi akan lebih banyak bertumpu pada nilai – nilai pragmatisme dan asumsi realitas yang non scientific. Oleh sebab itu, jumlah nominasi capres dan capres nampaknya akan lebih dari dua pasangan, mengingat elite – elite partai politik pasti tidak akan mau bergabung jika “real effect” tadi sangat minim diperoleh karena harus didikte atau “diatur – atur” oleh mitra koalisi. Begitu pula dalam melihat tingkat elektabilitas, jika para partai politik yakin dengan hasil – hasil suvei tentang tingkat elektabilitas seharusnya mereka “rame-rame” memilih Anies untuk memperoleh kemenangan. Karena Anies punya tingkat kesukaan dan akseptabilitas yang sangat tinggi untuk dikonversikan mencapai kemenangan telak. Tetapi seperti yang sudah disinggung diatas, para elite dari partai politik melihat sebelah mata dengan hasil – hasil survei tingkat elektabilitas tersebut, sehingga akhirnya lebih yakin dengan dorongan “semu” kader – kadernya daripada realitas yang sesunggunya (sehingga peluang “proyek” bagi para kader lebih banyak daripada menjadi mitra koalisi dengan banyak partai). Akhirnya, koalisi yang dibangun nanti bukan lah berdasarkan untuk kepentingan rakyat tetapi lebih didorong oleh nilai – nilai pragmatisme tersebut.

 Wallahu’alam Bisshawwab

Share

Add Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *