Direktur FBI Versus Donald Trump : Loyalitas Konstitusional

Oleh : Dr. Taufik Hidayat (Dirut Gandautama Riset Indonesia)

            James B Comey adalah direktur Federal Bureau Investigation (FBI) Amerika Serikat yang pernah dipecat oleh President Trump ketika ia tidak bisa dikendalikan untuk tidak membuka penyelidikan atas isu hubungan Trump dengan Rusia yang dianggap mengintervensi kedaulatan dan kehidupan demokrasi di Amerika. Beberapa kali Comey dibujuk rayu dan “diancam” untuk bisa ditundukkan demi keinginan Trump mengubur isu tersebut. Comey selalu menolak keinginan Trump tersebut walaupun Comey tahu bahwa kapan saja Trump akan bisa memecatnya.  Didalam bukunya yang berjudul A Higher Loyalty : Truth, Lies and Leadership (2018), Comey mendeskripsikan sangat tegas posisi konstitusional FBI yang harus independen dan hanya berpihak pada kepentingan negaranya sesuai amanat konstitusi. Apapun perintah Trump jika hal tersebut bertentangan dengan konstitusi yang mengatur posisi FBI dengan Presiden, maka Comey tidak akan pernah bertekuk lutut demi keinginan Trump. Padahal secara politis, Comey pernah terdaftar sebagai pendukung kubu partai Republik yang merupakan partai pengusung Presiden Donald Trump.

            Suatu waktu, Trump mengundang Comey untuk makan malam di gedung putih secara pribadi (hanya berdua). Dalam kesempatan itu, Trump meminta loyalitas Comey, tetapi Comey hanya mengatakan bahwa Trump akan mendapatkan “Honesty” atau kejujuran dari Comey (Comey, 2008 : 214). Jawaban diplomatis Comey ini bermakna bahwa dia akan selalu loyal kepada Trump jika loyalitas itu berdasarkan nilai-nilai kejujuran yang salah satunya adalah ketaatan terhadap konstitusi negara Amerika Serikat sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rule of Law). Comey juga merasa bingung dengan permintaan loyalitas dari Trump karena biasanya para pemimpin yang beretika (Ethical Leaders) tidak seharusnya menanyakan loyalitas pada bawahannya karena pemimpin yang beretika itu justru harus sangat peduli terhadap orang-orang yang dipimpinnya, menawarkan mereka kejujuran dan kebaikkan, komitmen serta pengorbanan (ibid). Pemimpin seharusnya menunjukkan jalan yang benar bagaimana agar rakyat yang dipimpinnya menaati aturan hukum yang berlaku (konstitusi), pemimpin seharusnya yang menguatkan ketika bawahannya lemah, yang memberi inspirasi ketika bawahannya pasif, yang akan menunjukkan jalan keselamatan walau ribuan rintangan berada di hadapan.

            Comey punya ekspektasi bahwa seharusnya Presiden Trump menjadi orang pertama yang paling loyal / setia dengan tujuan konstitusi Amerika Serikat yaitu melindungi kepentingan rakyat Amerika terutama kehidupan demokrasinya dari intervensi negara manapun, bukannya malah meminta loyalitas secara pribadi seolah-olah Amerika menganut sistem kerajaan atau Trump seolah-olah bertindak seperti Raja. Negara yang berdasarkan demokrasi melandaskan semua kehidupan berbangsa dan bernegaranya pada konstitusi yang disepakati bersama, bukan yang disepakati “dibelakang meja” atau secara diam-diam. Ketika seorang Presiden bertindak selayaknya seorang raja tanpa mengindahkan aturan main yang tertuang dalam konstitusi yang disepakati, maka di saat itu pula demokrasi pasti menuju kehancurannya.

            Selama Comey menjadi direktur FBI, ia telah mewarisi nilai-nilai independensi dan integritas di tubuh institusi FBI ke seluruh jajarannya. Seringkali ia mengarahkan jajarannya untuk selalu berpegang pada konstitusi, bekerja dengan sejujurnya, penuh dedikasi dan mau berkorban (berjiwa patriotik) demi kemaslahatan rakyat Amerika. Beliau meminta kepada bawahannya untuk selalu terhubung dengan keluarga di rumah agar kerja-kerja under pressure dan melelahkan bisa mengembalikan kesehatan mentalitas mereka. Malahan seringkali Comey meminta pegawainya untuk tidak pulang telat agar bisa bercengkrama dengan keluarga. Tradisi yang dibangun oleh Comey tersebut, membuat beberapa pimpinan FBI yang pernah bekerja membantu Comey akhirnya mengundurkan diri seiring dengan berhentinya Comey dari direktur FBI ketika melihat nilai – nilai independensi FBI diintervensi.

            Terlepas dari pro-kontra dengan apa yang pernah dilakukan oleh  institusi FBI selama ini. Ada pelajaran yang bisa kita ambil sebagai contoh bagi pejabat publik di negara manapun mereka berada. Seorang pejabat memang diangkat dan disumpah oleh atasannya, tetapi amanah jabatan dan tanggung jawab pekerjaannya merupakan perintah konstitusi yang diberikan oleh rakyat melalui konstitusi, bukan oleh atasannya. Gaji pejabat publik juga bukan dari atasannya yang menandatangani surat keputusannya (SK) tetapi dari setiap sen uang rakyat yang disetorkan ke negara melalui pajak-pajak yang dipungut secara massif dan kolektif. Setiap sen uang pajak yang disetorkan oleh rakyat ada titipan harapan agar negara mencapai tujuannya sesuai yang disepakati dalam konstitusi seperti kesehjateraan rakyat dan keadilan sosial.

            Adalah pengkhianatan konstitusi yang paling brutal jika ada seorang pemimpin tertinggi berusaha melanggar konstitusi dengan berbagai cara apalagi meminta aparat yang ada dibawahnya untuk bersama-sama melanggar konstitusi tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kita bisa melihat beberapa kasus kaitannya dengan hal ini, misalnya Perdana Menteri Shinzo Abe segera mengundurkan diri ketika diberitakan pernah memberikan uang atau hadiah kepada para pemilihnya yang jumlahnya tidak seberapa yang dimaksudkan untuk membantu secara pribadi. Begitu juga dengan Allahyarham Mohammad Natsir yang pernah mengundurkan diri dari Perdana Menteri NKRI pada tahun 1951 karena adanya keinginan Presiden Soekarno untuk memutus secara sepihak kesepakatan Uni Indonesia-Belanda tanpa mengikuti proses yang sudah disepakati sebelumnya oleh Indonesia dan Belanda yang melibatkan berbagai negara Internasional. Bagi pak Natsir, Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan diakui pihak internasional, tidak boleh dipandang sebagai negara yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat karena akan dapat dipandang sebagai negara yang tidak beretika / bermartabat di panggung antar bangsa.

            Saat ini kita sangat memerlukan karakter para pejabat publik yang memiliki loyalitas kepada konstitusi walaupun mungkin atasannya berusaha untuk membelokkan hanya demi jabatan atau kekuasaan semata. Dalam ajaran Islam, tentunya loyalitas tertinggi hanya kepada Allah SWT. dan Rasulullah SAW., tetapi loyalitas kepada konstitusi bukanlah hal yang terlarang tetapi harus bersyarat, yaitu selama tidak melanggar tuntunan agama. Tentunya negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti di Indonesia tidak memiliki masalah antara apa yang ada di dalam konstitusi dan apa yang ada di dalam kitab suci. Jalan buntu yang pernah terjadi pada sidang konstituante tahun 1959 yang lalu ketika memilih Pancasila atau Islam sebagai dasar negara telah dianggap selesai melalui dekrit Presiden Soekarno yang menjadikan Piagam Jakarta menjiwai konstitusi UUD 1945. Sehingga antara konstitusi dengan pelaksanaan syariat Islam bagi para pemeluknya tidak ada lagi yang perlu dipertentangkan, sehingga loyalitas tertinggi kepada Allah SWT. dan ajarannya adalah konstitusional di Indonesia. Oleh sebab itu, sudah selayaknya para pejabat publik di Indonesia apalagi yang beragama Islam menjadi orang orang yang punya loyalitas konstitusional sehingga negara dan bangsa Indonesia mencapai tujuannya seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Wallahua’alam Bishawwab

Share

Add Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *